Ahad (29/07) saya dan rekan-rekan Pengurus Daerah
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PD KAMMI) Kepulauan Riau
mengunjungi 82 orang muslim rohingya Myanmar, korban pembantaian junta
militer Myanmar di Rumah Tanahan Dentensi Imigrasi (Rudenim) Kota
Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Beragam kisah perih yang dialami Muslim
Rohingya diceritakan Muhammad Yunus (seorang pengungsi yang kebetulan
bisa berbahasa Indonesia) kepada penulis.
Setelah mendengar beragam penindasan dan pencabutan hak-hak
kewarganegaraan oleh Pemerintah Myanmar, penulis membatin, “Dimana
HAM?”. Seolah-olah HAM yang dideklarasikan PBB ‘bisu’ ketika dihadapkan
dengan hilangnya beragam hak umat Islam Rohingya yang telah mengalami
penindasan puluhan tahun lamanya. Ironis. Tapi inilah realita yang telah
terungkap akhir-akhir ini.
Profil Muslim Rohingya
Meminjam tulisan Rizki S. Saputro, “Kasus Muslim Rohingya – Gerakan Anti
Muslim di Asia Tenggara?” diweblog pribadinya
http://rizkisaputro.files.wordpress.com disebutkan muslim Rohingya
tinggal di propinsi Arakan Myanmar. Wilayah Arakan ini ditinggali oleh
dua etnis, Rakhine yang Buddha dan Rohingya yang Muslim. Dari jumlah
penduduk Myanmar yang sekitar 50 juta, dan penganut Islam 8 juta (2006),
sekitar 3,5juta dari mereka adalah Muslim Rohingya dari Arakan.
Disebabkan penyiksaan melalui pembersihan etnis dan tindakan genosida
terhadap Muslim Rohingya, sekitar 1,5 juta orang telah dipaksa untuk
meninggalkan rumah dan hati mereka semenjak kemerdekaan Myanmar pada
tahun 1948. Mereka kebanyakan mengungsi ke Bangladesh, Pakistan, Arab
Saudi, Uni Emirat Arab, Malaysia, dan Thailand.
Sebagian besar Muslim Rohingya menggantungkan hidupnya kepada pertanian.
Sebagian kecil saja dari mereka yang menjadi nelayan, pedagang, dan
pebisnis. Ada juga yang menjadi seniman, pandai besi, dan pemahat. Oleh
karena diskriminasi terhadap mereka, Muslim Rohingya menjadi tuna wisma.
Sawah mereka dirampas oleh penghuni baru yang kebanyakan Buddha. Produk
pertanian pun diberikan pajak yang tinggi, termasuk peternakan, seperti
sapi, kambing, dan unggas. Mereka juga terpaksa menjadi buruh tani
dengan bayaran yang sangat murah dan hidup di bawah garis kemiskinan.
Selama Perang Dunia II, pasukan Jepang menginvasi Myanmar, lalu wilayah
ini berada di bawah kekuasaan kolonial Inggris dan menyebutnya sebagai
Birma. Pasukan Inggris mundur dan memunculkan vacuum of power yang
menciptakan kekerasan komunal. Termasuk kekerasan di antara warga desa
Buddha Rakhine dan Muslim Rohingya. Pada tanggal 28 Maret 1942, sekitar
100.000 Muslim Rohingya (hampir separuh dari populasi Muslim Rohingya
pada waktu itu) dibunuh oleh orang-orang Buddha Rakhine.
Pada masa junta militer, Muslim Rohingya dipaksa untuk meninggalkan
nama-nama Islam dan menggunakan nama-nama Birma. Setiap bangunan yang
mengesankan simbol Islam diratakan dengan tanah. Ratusan masjid telah
diledakkan. Pembangunan masjid baru atau renovasi masjid juga dilarang.
Pagoda, biara, dan kuil Buddha didirikan di setiap sudut dan sela-sela
tanah Muslim Rohingya. Pelajar muslim dicuciotaknya di sekolah-sekolah
di mana ajaran-ajaran anti-Islam dijejalkan kepada mereka. Islam dan
budaya Islam selalu digambarkan dengan cara-cara yang memalukan,
menghinakan, merendahkan, dan menyimpang.
Sebelum junta militer merebut wilayah Rohingya pada tahun 1962, Muslim
Rohingya tak kalah maju dengan komunitas Buddha di Arakan. Hanya karena
kemiskinan, diskriminasi dan penyiksaan terus-menerus atas diri mereka,
jumlah pelajar Rohingya turun drastis. Mereka dipersulit untuk dapat
mengikuti pendidikan tinggi di kampus dan universitas. Larangan-larangan
bagi Muslim Rohingya telah diberlakukan untuk mencegah mereka
mendapatkan karir profesional karena mereka dipertanyakan
kewarganegaraannya.
Sebelum tahun 1962, komunitas Rohingya telah diakui sebagai etnis
nasional endogen Birma. Mereka memiliki perwakilan di Parlemen Birma,
dan beberapa di antaranya telah ditunjuk sebagai menteri dan sekretaris
parlemen. Pada masa pemerintahan Presiden U Nu, Sultan Mahmood yang
merupakan hartawan dan orang berpengaruh Rohingya menjabat sebagai
Sekretaris Politik, lalu menduduki jabatan Menteri Kesehatan. Anggota
kabinet lainnya adalah Abdul Bashar, Zohora Begum, Abul Khair, Abdus
Sobhan, Abdul Bashar, Rashid Ahmed, dan Nasiruddin (U Pho Khine).
Beberapa tokoh seperti Sultan Ahmed dan Abdul Gaffat menjadi sekretaris
parlemen.
Setelah rezim militer berkuasa, mereka telah menghilangkan hak politik
Muslim Rohingya secara sistematis. Dengan diundangkannya UU
Kewarganegaraan tahun 1982 mereka disebut sebagai warga ‘non-kebangsaan’
atau ‘warga asing.’ Muslim Rohingya pun resmi dideklarasikan sebagai
warga yang pantas ‘dimusnahkan.’ Rezim junta militer mempraktekkan dua
kebijakan de-Islamisasi di Myanmar: pemusnahan fisik melalui genosida
dan pembersihan etnis Muslim Rohingya di Arakan, serta asimilasi budaya
bagi umat Islam yang tinggal di bagian lain Myanmar.
Tujuan utama mereka adalah mengubah wilayah strategis Arakan (lihat
peta) yang didominasi Muslim menjadi didominasi kalangan Buddha dengan
merubah konstelasi demografis Arakan. Bahkan kini nama Arakan diubah
pemerintah menjadi Rakhine, nama khas Buddha. Di Arakan, banyak Muslim
Rohingya yang ditahan dengan cara sewenang-wenang, disiksa, dieksekusi
dengan cepat, dan dibunuh. Muslim Rohingya dipaksa menjadi buruh (baca:
budak) pagi-siang-malam. Sawah-sawah dirampas dan rumah mereka
diakuisisi warga baru Buddha. Masjid dan madrasah diledakkan lalu
diganti dengan pembangunan pagoda dan kuil Buddha. Junta berharap agar
dapat merubah lansekap Arakan.
Muslimah Rohingya diperkosa dan tidak diperlakukan dengan hormat. Mereka
dipaksa untuk menikah dengan pria-pria Buddha, dilarang mengenakan
hijab, dipaksa mengenakan alat kontrasepsi, dan dilarang menikah dengan
sesama Muslim Rohingya. Muslim Rohingya juga dilarang bepergian dari
satu desa ke desa lain meski dalam satu kecamatan, baik itu untuk urusan
kemasyarakatan, keagamaan, perdagangan, maupun bisnis.
Dari Dulu Hingga Sekarang
Sebelum Myanmar ada sebenarnya etnis Rohingya yang berdomisili di
Propinsi Arakan sudah sejak lama ada. Namun, sejak negara Myanmar
berdiri pelan tapi pasti muslim rohingya mulai tereleminir dengan sikap
pemerintahan Myanmar seperti yang telah penulis sebutkan dimuka.
Kebijakan anti-Islam ini adalah pengungsian Muslim Rohingya ke
negara-negara tetangga.
Banyak negara yang menolak sebagai pengungsi yang mencari suaka. Di
negeri non-Muslim seperti Thailand mereka disiksa dan diusir oleh
tentaranya. Di negeri Muslim seperti Bangladesh, mereka tidak dibantu
sepenuhnya. Bahkan sama seperti Thailand, Indonesia menyebut mereka
sebagai pengungsi ekonomi. Dan sejauh ini memang belum ada langkah
konkrit dari negara-negara tetangga baik muslim maupun negara yang
mayoritas non muslim untuk membantu mereka.
Masih menurut Rizki dalam tulisannya, Indonesia sebagai mantan
god-father Asia Tenggara berusaha menjembatani masalah ‘manusia perahu
Rohingya’ melalui Bali Process. Myanmar diharapkan “menghentikan atau
mengurangi alasan yang menyebabkan terjadinya arus pengungsi ke negara
lain.” Artinya, masalah ini dikembalikan kepada rezim junta militer
Myanmar dan Muslim Rohingya. Sementara itu apa yang bisa digunakan oleh
negara-negara lain, termasuk Indonesia, untuk mendesak (me-reward dan
mem-punish) junta Myanmar dalam Bali Process? Hal ini belum terlihat.
Seakan-akan semua negara berlepas tangan terhadap masalah Muslim
Rohingya.
Menyelematkan Muslim Rohingya
Dimuka, sudah penulis sebutkan secara detil bagaimana penderitaan muslim
rohingya. Sudah saatnya kita bersama berpikir bagaimana menyelematkan
mereka. Dari kunjungan yang penulis lakukan di Rudenim Tanjungpinang,
permintaan muslim rohingya sangat sederhana. Pertama, mereka meminta
dikembalikan hak kewarganegaraan. Kedua, jika memang hak kewarganegaraan
tersebut belum diakui juga, mereka meminta agar negara-negara muslim
seperti Indonesia mau memberikan suaka politik kepada mereka.
Dari kedua sudut pandang tersebut penulis pikir PBB dan ASEAN bisa
mendesak pemerintah Myanmar untuk melakukan tindakan represif seperti
memberikan sanksi internasional untuk Myanmar, bahkan PBB dan ASEAN bisa
saja mengeluarkan Myanmar dari organisasi ini jika memang Myanmar belum
bisa menyelesaikan permasalahan ini sesegera mungkin.
Kalau memang Myanmar juga masih tidak khawatir dengan ancaman dan lambat
dalam mengambil kebijakan dalam menyikapi masalah ini jelas ini menjadi
kewajiban negara-negara tetangga yang mayoritas beragama Islam untuk
menampung sementara muslim Rohingya yang dibantai secara tidak manusiawi
oleh Junta Militer Myanmar. Indonesia penulis pikir punya peluang untuk
hal ini.
Skema Global Asing
Membaca tulisan Hendrajit - Direktur Eksekutif Global Future Institute
(GFI), “Agenda Tersembunyi dibalik Konflik Etnis Islam Myanmar”
disebutkan konflik etnis Islam Rohingya di Myanmar, harus dipoitres
dalam foto yang lebih besar. Fokus harus diarahkan pada Arakan, daerah
basis Suku Rohingga. Di Arakan ini, ada kandungan minyak dan gas bumi
yang cukup melimpah. Beberapa perusahaan Asing seperti Total, Perancis,
Chevron, Amerika Serikat, Petro China, Cina, Tiongkok Petroleum,
Petronas Malaysia, dan PTT Thailand, saling berebut dan incar Arakan
yang punya nilai strategis.
Masih menurutnya, Amerika, sepertinya merasa ketinggalan kereta dalam
pertarungan merebut the winning coalition dalam menguasai struktur
domestik Myanmar. Karena kalah dalam mengakses rejim militer Presiden
Than Swe. Maka, isu HAM kemudian dikelola sebagai isu untuk menembus
blokade wilayah strategis ini dengan dalih ada pelanggaran HAM di
Myanmar, khususnya Arakan. Maka itu kondisi obyektif Arakan yang rawan
untuk dipicu perbenturan antara etnis Islam Rohingya dan warga Budha di
daerah ini. Sejatinya bukan Muslim Cleansing, Tapi People cleasing
terhadap masyarakat Myanmar. Yang muaranya adalah untuk memaksa rejim
militer menegosiasikan ulang berbagai kesepakatan strategis di bidang
ekonomi.
Saat ini, di Arakan, setidaknya dua perusahaan minyak Cina, sudah
menandatangani MOU dengan rejim militer Myanmar, untuk mengeksplorasi
dan penambangan di Arakan. Jadi dalam kontek memicu konflik Islam-Budha
di Myanmar, sebenarnya dalam skema global ini, masyarakat Birma lah yang
jadi korban sebenarnya. Tentu saja karena sasaran utama kali ini adalah
Arakan, maka suku Rohingga jadi target operasi. Namun warga Budha pun ,
juga jadi korban. Karena skema besarnya, korbankan masyarakat Birma,
demi kesepakatan rejim militer dan para pelaku korporasi raksasa Asing
di Myanmar.
Pemerintah Myanmar yang saat ini dipimpin oleh Pemimpin oposisi Myanmar,
Aung San Suu Kyi saat ini menyerukan adanya aturan hukum dalam bentuk
Undang-undang untuk melindungi hak-hak kelompok minoritas.
Pernyataan ini disampaikan dalam pidato pertamanya di parlemen
(Vivenews.com, Rabu 25 Juli 2012). Nah, terlepas dari dugaan skema
global ini kita berharap penderitaan muslim Rohingya bisa segera
berakhir dan pernyataan Aung San Suu Kyi sebagai presiden kita harapkan
tidak hanya sekedar retorika belaka karena galau dengan sikap PBB dan
negara-negara dunia yang mendesak Myanmar untuk mengembalikan hak-hak
kewarganegaraan Muslim Rohingya. Semoga Allah menguatkan dan
menyelematkan muslim Rohingya yang masih tersisa di Propinsi Arakan,
Myanmar.
sumber : http://www.radarbangka.co.id